
Riuh Online — Dunia olahraga Indonesia kembali berduka. Legenda bulu tangkis nasional, Tan Joe Hok, meninggal dunia pada Senin (2/6/2025) pukul 10.52 WIB di RS Medistra, Jakarta. Kabar duka ini disampaikan langsung oleh Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan diberitakan oleh Kompas dalam laporan resminya. Kepergian Tan Joe Hok menjadi kehilangan besar bagi Indonesia, mengingat peran pentingnya sebagai pelopor kejayaan bulu tangkis Tanah Air.
Tan Joe Hok, yang lahir di Bandung pada 11 Agustus 1937 dengan nama asli Hendra Kartanegara, dikenal sebagai tokoh legendaris yang mencatatkan banyak “pertama kali” dalam sejarah olahraga Indonesia. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjuarai turnamen bergengsi All England, meraih medali emas di Asian Games 1962, dan membawa nama Indonesia harum di pentas dunia. Bersama tim legendaris “The Magnificent Seven”, Tan turut mempersembahkan Piala Thomas pertama bagi Indonesia pada tahun 1958, tonggak bersejarah yang menandai era kejayaan bulu tangkis nasional (Kompas, 2 Juni 2025).
Dalam sebuah webinar bertajuk “Tionghoa dalam Dunia Olahraga” pada tahun 2020, Tan Joe Hok pernah mengungkap sisi lain dari perjuangan di balik prestasi. Ia menceritakan dinamika internal tim nasional saat dirinya menjadi pelatih Piala Thomas 1984. Menurut Tan, ketegangan terjadi saat Ketua Umum PBSI saat itu, Ferry Sonneville yang juga sahabat dan rekan satu timnya pada 1958 menolak sistem seleksi pemain yang sebelumnya telah disepakati. “Saya tidak pandang agamanya apa, sukunya apa, karena saya orang Indonesia. Tapi orang berpikir lain. Tim saat itu hampir semua keturunan,” ujar Tan Joe Hok dalam pernyataan yang dikutip oleh Kompas.
Tak hanya polemik pemilihan pemain, Tan juga mengkritik sistem kontrak sponsor yang dinilai merugikan pemain. Ia menyebut bahwa adanya peralihan dari kontrak pribadi ke kontrak kolektif membuat atlet kehilangan pendapatan penuh. Dalam kesaksiannya, Tan menilai perubahan tersebut justru menimbulkan gejolak internal yang berdampak besar terhadap keberlangsungan bulu tangkis Indonesia. Ia bahkan menyebut era itu sebagai masa yang merusak sistem yang telah dibangun. “Itu kebobrokan era Ferry Sonneville. Maaf, dia teman saya,” ujar Tan secara emosional sebagaimana diberitakan Kompas.
Meski sempat melontarkan kritik, Tan tetap menghargai jasa Ferry Sonneville yang turut memperkuat tim Thomas Cup 1958 dan meninggalkan studinya di Belanda demi membela Merah Putih. Ferry juga dikenal sebagai pendiri dan pemimpin PBSI, serta pernah menjabat Presiden Federasi Bulu Tangkis Dunia (IBF) periode 1971–1974. Ferry sendiri meninggal pada 20 November 2003 dalam usia 72 tahun.
Sementara itu, Tan Joe Hok dianugerahi berbagai penghargaan sepanjang hidupnya, termasuk penghargaan Lifetime Achievement dari berbagai pihak atas dedikasinya pada olahraga bulu tangkis. Ia menjadi panutan banyak generasi, tak hanya karena prestasi, tetapi juga karena sikapnya yang konsisten menjunjung integritas dan kecintaan terhadap Indonesia.
Kini, kepergian Tan Joe Hok meninggalkan duka mendalam. Warisan perjuangan, dedikasi, dan integritasnya akan terus dikenang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah emas bulu tangkis Indonesia. Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas, sosoknya tak hanya dikenang sebagai juara, tetapi sebagai pelita yang menerangi jalan panjang kejayaan olahraga Indonesia di mata dunia.
Penulis : E Sains