
Riuh Online — Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Novi Poespita Candra, menyatakan bahwa pengiriman remaja bermasalah ke barak militer dapat menimbulkan dampak negatif. Menurutnya, program semacam ini bisa memicu trauma karena adanya gegar budaya (culture shock) yang dialami anak-anak ketika menghadapi lingkungan dan kedisiplinan ala militer.
“Disiplin yang dibentuk dengan sistem reward dan punishment membuat perilaku anak bergantung pada otoritas. Saat otoritas itu hilang, perilaku pun ikut menghilang,” ujar Novi kepada NU Online, Sabtu (3/5/2025). Ia menjelaskan bahwa pendekatan militeristik lebih menekankan aspek perilaku semata dan tidak menyentuh akar persoalan. Sebaliknya, pendekatan humanistik yang mengedepankan refleksi dan dialog dinilai lebih tepat untuk membangun kesadaran diri, tanggung jawab, dan empati.
Novi menambahkan bahwa sistem pendidikan di sekolah maupun rumah saat ini pun cenderung masih menerapkan pendekatan instruktif yang serupa, sehingga remaja tidak mendapatkan ruang penyembuhan yang memadai. “Sayangnya, lagi-lagi solusi yang ditawarkan hanya sebatas militerisme,” tegasnya.
Menurut teori psikolog Daniel Goleman, banyak remaja bermasalah mengalami kekurangan dalam pengelolaan emosi dan keterampilan sosial. Oleh karena itu, Novi mendorong agar pendidikan lebih fokus pada pengembangan aspek emosional dan sosial anak.
Meski begitu, Novi tidak menampik bahwa program barak militer bisa membawa dampak positif dalam jangka pendek, seperti menumbuhkan disiplin dan tanggung jawab. Beberapa studi menunjukkan bahwa lingkungan baru yang jauh dari sumber masalah dapat membantu anak menata ulang perilakunya.
Militer Bukan Solusi Utama, Tapi Bisa Jadi Intervensi Sementara
Sementara itu, Dosen Psikologi Klinis dari UIN Salatiga, Aufa Abdillah Hanif, menilai bahwa pendidikan barak bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar persoalan remaja. Ia mengingatkan bahwa program ini bisa menimbulkan luka psikologis jika tidak dilengkapi dengan pendampingan yang memadai.
“Solusi yang ideal adalah intervensi berbasis empati, pemahaman, serta dukungan profesional seperti konseling dan pembinaan karakter yang konsisten,” ujarnya. Meskipun demikian, ia mendukung program yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, asalkan desainnya mengutamakan aspek terapeutik, bukan sekadar fisik.
Menurut Aufa, banyak remaja bermasalah berasal dari lingkungan yang penuh konflik dan tidak stabil. Dalam konteks ini, barak militer bisa menawarkan struktur, rutinitas, dan rasa aman yang selama ini mereka butuhkan. “Pendidikan barak bisa menjadi intervensi sosial yang menggantikan pengaruh lingkungan negatif seperti narkoba, kekerasan, dan geng,” jelasnya.
Namun Aufa menekankan bahwa pendekatan ini harus mematuhi prinsip non-kekerasan dan tetap melibatkan profesional psikologi serta pendidikan. Program ini akan berhasil jika dilakukan secara terstruktur, ilmiah, dan memiliki tindak lanjut jangka panjang.
Risiko Pendidikan Militer: Patuh karena Takut
Meski demikian, Aufa memperingatkan adanya risiko jika anak-anak hanya menjadi patuh karena rasa takut, bukan karena kesadaran. Perubahan perilaku yang terjadi di barak kemungkinan tidak akan bertahan setelah mereka kembali ke lingkungan awal.
Ia juga menilai bahwa pendekatan ini tidak bisa menggantikan peran guru Bimbingan Konseling (BK), yang seharusnya memiliki fungsi preventif dan rehabilitatif. Menurutnya, kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap krisis dalam sistem pendidikan, terutama kurangnya dukungan dan sumber daya bagi guru BK.
“Program barak militer sebaiknya dilihat sebagai pelengkap, bukan sebagai pengganti pendekatan psikologis yang holistik,” tegasnya.
Penulis : E Sains
Sumber : NU Online