
Riuh Online — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana, dalam kasus korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19. Majelis hakim menyatakan Budi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara hingga Rp 319 miliar.
“Perbuatan terdakwa memenuhi unsur melawan hukum dan memperkaya pihak lain,” ujar ketua majelis hakim Syofia Marlianti Tambunan saat membacakan putusan pada 5 Juni 2025 di Jakarta (Tempo.co, 10 Juni 2025).
Meskipun tak menikmati hasil korupsi, hakim menilai Budi sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) bertanggung jawab atas penggunaan dana siap pakai di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dalam perkara yang sama, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik, dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo, masing-masing divonis 11 dan 11,5 tahun penjara. Mereka dinyatakan paling diuntungkan dari pengadaan ini, dengan total keuntungan mencapai ratusan miliar rupiah.
Kasus ini bermula pada Maret 2020, saat Kemenkes membeli 10 ribu set APD dari PT PPM seharga Rp 379.500 per set. Namun sehari kemudian, BNPB mendistribusikan 170 ribu set APD dari gudang PT PPM ke berbagai rumah sakit tanpa dokumen lengkap. Tak lama setelah itu, pembayaran dilakukan, termasuk transfer Rp 109 miliar dari Kemenkes ke PT PPM pada 28 Maret 2020, sebelum Budi secara resmi menjabat PPK. Surat penunjukannya sebagai PPK bahkan dibuat mundur ke tanggal 27 Maret.
Budi juga menandatangani surat pesanan lima juta APD yang tidak memuat spesifikasi, mekanisme pembayaran, atau hak dan kewajiban para pihak. Anehnya, surat yang ditujukan ke PT PPM turut ditandatangani oleh Satrio dari PT EKI.
Audit kejaksaan menyebut negara dirugikan Rp 319,69 miliar, dengan keuntungan terbesar dinikmati Ahmad Taufik (Rp 224,19 miliar), diikuti Satrio (Rp 59,98 miliar), PT Yoon Shin Jaya (Rp 25,25 miliar), dan PT GA Indonesia (Rp 14,62 miliar).
Tanggung Jawab Pejabat, Meski Tak Menikmati Keuntungan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman, menilai pemidanaan terhadap Budi sudah tepat, karena Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pejabat negara dipidana meski tidak menerima keuntungan pribadi. “Kalau tanpa peran pejabat ini, tindak pidana itu tidak akan terjadi,” ujarnya (Tempo.co, 10 Juni 2025).
Senada dengan Zaenur, dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan bahwa kewenangan pengadaan APD memang berada di tangan Budi. “Tanpa perannya, korupsi itu tidak bisa terjadi,” katanya.
Vonis Ringan Tuai Kritik
Namun, vonis tiga tahun terhadap Budi menuai kritik dari sejumlah pihak. Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai hukuman tersebut terlalu ringan mengingat posisi strategis Budi dalam kasus ini. Ia memperingatkan bahwa putusan semacam itu bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sementara itu, dosen hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai vonis ringan ini tak sesuai dengan bobot perkara. “Logika hukum menjadi kabur jika terdakwa terbukti bersalah tapi dihukum ringan,” katanya. Ia juga menekankan bahwa korupsi dalam situasi bencana seharusnya menjadi faktor pemberat hukuman, bukan sebaliknya.
IM57+ Institute, lembaga yang digagas oleh mantan pegawai KPK, menyebut vonis ini sebagai ironi dalam upaya pemberantasan korupsi, apalagi kejahatan terjadi saat krisis kesehatan global. Ketua IM57+, Lakso Anindito, menambahkan bahwa aparat penegak hukum seharusnya mengungkap siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari pengadaan APD tersebut sebagai ultimate beneficial owner.
Penulis : E Sains