
Riuh Online — Antusiasme umat Muslim Indonesia yang ingin menunaikan ibadah haji menciptakan kesempatan bisnis besar bagi agen travel swasta. Namun sayangnya, banyak pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk meraup keuntungan dengan cara tidak etis bahkan hingga menipu jemaah. Modusnya bermacam-macam, mulai dari penelantaran hingga yang paling ekstrim: memanfaatkan jemaah sebagai pekerja paksa.
Salah satu kasus paling mencengangkan berasal dari akhir abad ke-19, yang melibatkan Firma Al‑Segaf, sebuah agen perjalanan haji yang berpusat di Singapura dan sangat diminati jemaah dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) serta Singapura
Pendiri firma ini, Sayid Muhammad bin Ahmad al‑Segaf, selain mengelola perjalanan haji, juga memiliki perkebunan karet besar di Pulau Cocob, Johor. Saat profit dari karet turun dan biaya tenaga kerja melonjak, al‑Segaf mencari tenaga kerja murah.
Menurut sejarawan Henry Chambert‑Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013), banyak jemaah kehabisan dana untuk kembali ke Tanah Air karena persiapan finansial yang kurang matang . Al‑Segaf pun menawarkan pinjaman perjalanan, tetapi dengan syarat bahwa cicilan harus dibayar melalui kerja di perkebunan miliknya praktik yang jelas merupakan bentuk kerja paksa
Dokumen Konsulat Belanda di Jeddah (27 Juni 1896) menunjukkan bahwa rata-rata jemaah menerima pinjaman sekitar US$ 50 dengan skema cicilan lebih dari 80 kali pembayaran. Namun sesampainya di Johor, mereka menghadapi upah rendah, kondisi kerja berat, dan biaya hidup tinggi membuat mereka terjebak dalam hutang yang sulit dibayar .
Kondisi ini akhirnya menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda dan Inggris. Melalui diplomasi antar-negara, termasuk larangan singgah di Singapura bagi kapal yang terkait Al‑Segaf, pemerintah berhasil memaksa firma tersebut menghentikan praktiknya. Akibatnya, para jemaah yang terjebak pun perlahan bisa pulang ke Indonesia. Sayid Muhammad bin Ahmad al‑Segaf pun terpaksa melepaskan bisnis travel-nya.
Penulis : E Sains